Tantangan Sekolah Rakyat Kotim Membentuk Generasi Baru
Sebuah gedung di kawasan Islamic Center Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), berdiri sekolah sederhana yang penuh cerita. Tawa anak-anak bercampur semangat guru yang tak pernah padam. Itulah Sekolah Rakyat Kotim, tempat di mana setiap anak tanpa memandang latar belakang, diberi kesempatan belajar kembali tentang dunia, kehidupan, dan tentang dirinya sendiri.
SINDY APRIANSYAH, Sampit
PAGI itu, matahari baru menanjak. Suara nyanyian anak-anak menggema di halaman sekolah. Mereka tengah menjalani matrikulasi atau masa pengenalan pelajaran yang menjadi awal langkah menuju pembelajaran penuh bulan depan.
“Sekarang kami fokus mengenalkan dasar-dasar pelajaran dan membentuk karakter siswa,” kata Nikkon Bhastari, Kepala Sekolah Rakyat Kotim saat diwawancarai, Selasa (21/10/2025).
Dari 100 lebih siswa yang terdaftar tahun ini, sekitar 30 anak tingkat SD belum mampu membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan di tingkat sekolah menengah atas alias SMA masih ada tiga siswa yang mengalami kesulitan serupa. Tapi bagi Nikkon dan timnya, itu bukan halangan, tapi tantangan untuk diselesaikan dengan hati.
“Beberapa dari mereka dulu sempat putus sekolah. Ada juga yang sudah pernah bersekolah tapi belum bisa calistung. Kami ajarkan lagi dari awal. Tidak apa-apa lambat, yang penting mereka tidak menyerah,” ujarnya.
Hari-hari pertama masa adaptasi tak selalu mudah. Nikkon mengenang bagaimana siswa baru masih membawa kebiasaan lama berbicara tanpa sopan santun, saling ejek, atau tak terbiasa menyapa guru.
“Jadi kami bentuk ulang karakternya, dan kami ajarkan bagaimana menyapa dengan hormat, berbicara sopan, saling menghargai. Karena pendidikan sejati bukan cuma tentang angka, tapi juga tentang adab,” ucapnya.
Sekolah Rakyat Kotim menggunakan kurikulum nasional plus dengan pendekatan MEME (Multi-Entry, Multi-Exit) sistem belajar yang menyesuaikan kemampuan dan minat siswa.
“Kalau anaknya cepat memahami pelajaran, dia boleh maju ke tahap berikutnya. Tapi kalau masih kesulitan, kami bantu lebih lama. Di sini tidak ada kata tertinggal. Semua punya ritme sendiri. Semua berhak maju dengan caranya masing-masing,” jelas Nikko.
Konsep itu membuat setiap anak merasa dihargai. Tidak ada tekanan untuk bersaing. Tidak ada rasa malu untuk belajar kembali dari awal. Baginya, pendidikan bukan hanya soal nilai ujian, tapi tentang bagaimana anak-anak bisa mengenali dirinya sendiri.
“Target kami tahun ini adalah pembentukan karakter. Bulan depan pengetahuan, dan tahun depan kami ingin melihat perubahan nyata anak-anak yang tahu siapa dirinya dan mau melangkah menuju masa depan,” katanya penuh keyakinan.
Sekolah Rakyat Kotim bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah ruang harapan bagi anak-anak yang dulu tertinggal. Bagi guru-guru yang berjuang di tengah keterbatasan, dan bagi masyarakat yang percaya bahwa setiap anak berhak mendapat kesempatan kedua.
Di sekolah ini, huruf-huruf yang dulu tak dikenal kini mulai membentuk kata. Kata-kata itu perlahan tumbuh menjadi doa, lalu menjadi harapan.
Dan di balik setiap senyum yang lahir di ruang kelas sederhana itu, ada tekad yang sama bahwa pendidikan sejati bukan tentang seberapa cepat anak menguasai pelajaran, tetapi seberapa jauh ia bisa bermimpi dan berani mengejarnya. (pri/ens)

 
									










