Feature

Dari Sawit Sampai Nikel, Saatnya Indonesia Main Bijak dengan Alam

28
×

Dari Sawit Sampai Nikel, Saatnya Indonesia Main Bijak dengan Alam

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI Dari Sawit Sampai Nikel, Saatnya Indonesia Main Bijak dengan Alam

Oleh : Candra Wulan Ika Purnomo dan Pak Rahab

(Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas jenderal soedirman)

INDONESIA kerap disebut sebagai “paru-paru dunia kedua” setelah Amazon. Julukan ini bukan tanpa alasan, sebab negeri ini dikaruniai kekayaan alam yang melimpah seperti hutan tropis yang luas, tanah yang subur, hingga kandungan mineral yang berlimpah di perut bumi. Namun, di balik limpahan anugerah itu,kita sering lupa bahwa alam ini bukan hanya sumber uang , tapi juga penopang hidup kita .Sehingga muncul  pertanyaan besar yang hingga kini terus menghantui, apakah kita sudah benar-benar bijak dalam mengelola kekayaan tersebut, atau justru sedang menyiapkan bumerang bagi masa depan sendiri?

Kita bisa melihat dari sejarah kelapa sawit. Komoditas ini berhasil menjadikan Indonesia sebagai produsen dan pengekspor terbesar di dunia. Dari sawit, kita mendapat devisa triliunan rupiah, membuka lapangan kerja, dan mengangkat ekonomi banyak daerah. Tetapi, semua itu tidak datang tanpa harga. Di balik kebun sawit yang luas, ada hutan-hutan yang ditebang, ada satwa liar yang kehilangan habitat, dan ada masyarakat adat yang tersisih dari tanah leluhur mereka. Sawit memberi kita kekuatan ekonomi, tapi sekaligus meninggalkan luka ekologis yang mendalam. Industri sawit adalah contoh nyata dilema pembangunan. Tidak bisa dipungkiri, kelapa sawit telah menjadi tulang punggung ekspor Indonesia, menyerap jutaan tenaga kerja, dan memberi pemasukan besar bagi negara. Data berbagai lembaga lingkungan menunjukkan bahwa ekspansi sawit menjadi salah satu penyebab deforestasi terbesar di Indonesia. Deforestasi tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati tetapi juga mempercepat krisis iklim melalui pelepasan emisi karbon yang besar. Konflik lahan dengan masyarakat adat dan petani kecil pun kerap muncul. Artinya, keberhasilan ekonomi dari sawit menyisakan persoalan sosial dan ekologis yang tidak sederhana.

Sekarang, cerita yang hampir sama terulang pada nikel. Dunia sedang menuju era energi bersih, kendaraan listrik, dan transisi energi. Indonesia pun bangga karena punya cadangan nikel terbesar di dunia. Nikel disebut-sebut sebagai “emas hijau” masa depan. Namun ,apakah praktik pertambangan nikel hari ini benar-benar hijau? Di banyak daerah, tambang nikel justru merusak hutan, mencemari sungai, merampas ruang hidup nelayan, dan mengancam kesehatan masyarakat sekitar. Ironis sekali, bahan baku yang digadang-gadang sebagai penyelamat bumi malah menimbulkan kerusakan di negeri sendiri.

kita terlalu tergesa-gesa mengejar keuntungan ekonomi tanpa perhitungan matang tentang dampaknya. Dari sawit sampai nikel, yang ada  dipikirkan  “ambil sekarang, pikir nanti.” Padahal, dunia sudah banyak memberi contoh bagaimana sumber daya alam bisa menjadi kutukan jika tidak dikelola dengan bijak. Negara kaya minyak banyak yang justru terjebak dalam krisis ekonomi dan sosial karena terlalu bergantung pada satu komoditas. Apakah kita mau mengulangi kesalahan yang sama?

Menurut saya, Indonesia harus berani mengubah cara pandang. Alam bukan sekadar objek yang bisa dieksploitasi, tapi partner yang harus dijaga keseimbangannya. Kalau benar kita ingin memanfaatkan sawit atau nikel, maka harus dilakukan dengan cara yang lebih adil dan berkelanjutan. Perusahaan besar tidak boleh hanya menghitung untung rugi finansial, tetapi juga harus menanggung tanggung jawab lingkungan. Pemerintah pun tidak bisa hanya bangga dengan angka ekspor, tapi harus memastikan rakyat di sekitar wilayah sawit dan tambang benar-benar sejahtera, bukan justru menderita.

Lebih dari itu, kita perlu memikirkan diversifikasi ekonomi. Jangan sampai kita lagi-lagi jatuh ke jebakan ketergantungan. Indonesia punya banyak potensi lain yang bisa dikembangkan seperti  energi terbarukan dari matahari, angin, dan panas bumi, pariwisata berbasis alam, pertanian organik yang ramah lingkungan. Semua itu bisa jadi penopang ekonomi sekaligus menjaga kelestarian alam.

Saya percaya, pembangunan tidak harus selalu berarti merusa.Tetapi ,yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk keluar dari pola lama dan memilih jalan yang lebih bijak. Sebab pada akhirnya, sawit akan habis, nikel pun akan habis, tapi alam yang rusak akan meninggalkan masalah jauh lebih lama dari usia sumber daya itu sendiri.

Jadi, dari sawit sampai nikel, mari kita berhenti hanya melihat keuntungan jangka pendek. Mari kita mulai berpikir bagaimana kekayaan alam ini bisa diwariskan utuh, lestari, dan memberi manfaat bagi generasi mendatang. Karena kalau Indonesia tidak segera main bijak dengan alamnya, maka alam sendiri yang akan menagih harga paling mahal: masa depan kita. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *