Politik

Legislator Pertanyakan Cara Berpikir Aparat

44
×

Legislator Pertanyakan Cara Berpikir Aparat

Sebarkan artikel ini
FOTO : NET

 Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, mengkritik langkah Kepolisian yang menyita sejumlah buku sebagai barang bukti dalam penangkapan pasca demonstrasi akhir Agustus 2025. Menurutnya, buku tidak seharusnya diperlakukan sebagai alat kejahatan.

“Membaca buku bukanlah sebuah kejahatan. Saya mengecam tindakan kepolisian menyita buku sebagai alat bukti kejahatan karena akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpikir dan berpendapat,” kata Bonnie kepada wartawan, Kamis (25/9).

Ia menambahkan, tindakan tersebut berbahaya bagi dunia akademik, karena pemikiran seharusnya diuji berdasarkan kaidah ilmiah, bukan dicurigai sebagai tindak kriminal.

Hal ini diketahui setelah aparat Kepolisian menyita buku di sejumlah kota setelah demonstrasi 25–31 Agustus 2025. Selain batu, spanduk, dan bom molotov, buku-buku ikut dipajang sebagai barang bukti dari para tersangka.

Kasus pertama muncul setelah penangkapan Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen. Di Bandung, polisi menyita 29 judul buku bertema beragam, mulai dari filsafat hingga perlawanan jalanan. Sementara di Sidoarjo, dari 18 tersangka, polisi kembali menghadirkan buku sebagai barang bukti.

Beberapa judul yang disita antara lain Karl Marx karya Franz Magnis Suseno, Anarkisme karya Emma Goldman, Kisah Para Diktator karya Jules Archer, dan Strategi Perang Gerilya karya Che Guevara. Semua dipajang bersama barang sitaan lain saat konferensi pers.

Bonnie menilai, buku-buku tersebut merupakan karya yang lazim dikenal di kalangan akademisi maupun gerakan sosial, serta mendorong pemikiran kritis terhadap ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik.

“Buku tidak bisa menjadi barang bukti kejahatan. Menyita buku, sebagai produk pengetahuan, sama artinya memenjara pemikiran,” tegasnya.

Ia menambahkan, praktik semacam ini justru mengingatkan pada sejarah kelam di rezim totalitarian. Ia pun menyayangkan sikap impulsif aparat yang dianggap kurang peka terhadap kritik.

“Semestinya aparat peka terhadap kritik anak-anak muda. Mereka menjadi sadar akan sesuatu yang tidak beres di negeri ini, karena memiliki pengetahuan menganalisis keadaan dari bacaan,” pungkasnya.

SUMBER : JAWA.POS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *