Prilly Latuconsina & Sheila Dara Bawa Semangat Sinema ke Kalteng
Udara hangat menyambut dua aktris muda Indonesia, Prilly Latuconsina dan Sheila Dara, saat mereka menjejakkan kaki di Bandara Tjilik Riwut, Palangka Raya, beberapa waktu lalu.
SITI NUR MARIFA, Palangka Raya
BAGI Prilly dan Sheila, ini bukan sekadar perjalanan kerja. Ini adalah petualangan pertama mereka ke jantung Borneo. Dalam rangka program FFI Goes to Festival, mereka hadir sebagai ketua dan duta Festival Film Indonesia (FFI) untuk berkolaborasi dengan Kalimantan International Indigenous Film Festival (KIIFF), Sabtu (20/9/2025).
Kunjungan singkat ini membuka lembaran baru dalam hubungan antara industri perfilman nasional dengan sineas-sineas lokal di Kalimantan Tengah. FFI, yang tahun ini mengusung tema “Puspa Warna Sinema Indonesia”, terus memperluas jangkauannya ke daerah-daerah yang menyimpan kekayaan budaya luar biasa.
Belum genap satu hari di Palangka Raya, Prilly dan Sheila langsung mencicipi kehangatan lokal secara harfiah dan emosional. Mereka menikmati makan siang di sebuah rumah makan bernuansa sejarah, Rumah Makan Tjilik Riwut, yang dikelola oleh keluarga sang pahlawan nasional sekaligus mantan Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut. “Vibes-nya kayak lagi dijamu di rumah nenek,” ujar Prilly sambil tertawa.
Dia terkagum dengan suasana rumah makan yang dipenuhi foto-foto, seragam, dan barang peninggalan Tjilik Riwut. “Hangat banget, makanannya rumahan, dan ada sejarahnya juga,” terangnya.
Sheila menambahkan, “Itu bukan cuma rumah makan, tapi juga rumah sejarah. Kita bisa merasakan aura perjuangan beliau dari benda-benda yang masih terjaga dengan baik,” jelasnya.
Tidak lengkap ke Kalimantan tanpa mencicipi ragam hidangan sungai. Dari ikan patin dengan tempoyak, seluang goreng tepung, hingga ikan baung bakar, keduanya terpikat dengan cita rasa khas yang belum pernah mereka coba. “Ikannya segar banget, patinnya lembut, bumbunya khas sekali. Aku senang banget karena semuanya savory,” cerita Prilly antusias.
Sheila pun menyebut seluang goreng sebagai “snack lokal terenak” yang dia coba selama roadshow.
Kolaborasi antara FFI dan KIIFF menjadi bagian dari strategi besar FFI 2025 untuk merangkul keberagaman budaya Nusantara melalui sinema. “Kita ingin filmmaker lokal tahu bahwa mereka punya tempat di FFI,” ujar Prilly.
“Tahun ini kita roadshow ke Aceh, Bali, dan Kalimantan Tengah. Harapannya, makin banyak karya daerah yang submit ke FFI tahun depan,” harapnya.
Sheila menambahkan pentingnya film sebagai medium untuk memperkenalkan budaya daerah ke panggung nasional dan internasional. “Film dengan akar budaya yang kuat itu punya daya saing, bahkan bisa tembus ke festival internasional. Contohnya banyak, dari Ngeri-Ngeri Sedap, Yowis Ben, sampai film animasi lokal yang bisa capai jutaan penonton,” imbuhnya.
Mereka menyebut Kalimantan Tengah punya kekuatan sinematik yang khas. Dari lanskap alamnya, sejarah perjuangan tokoh seperti Tjilik Riwut, hingga kearifan lokal masyarakat Dayak dan keragaman budaya yang hidup berdampingan. “Setiap daerah itu unik. Kalau dimasukkan ke film, bisa kasih perspektif baru ke penonton,” kata Prilly.
“Masalahnya mungkin sama secara universal, tapi cara memandangnya beda. Itulah kekuatan sinema berbasis lokalitas,” bebernya.
Meski kunjungan mereka hanya berlangsung satu hari, kesan yang ditinggalkan terasa dalam. “Pengen banget lebih lama. Tapi karena padatnya jadwal dan baru bisa mulai program di pertengahan tahun, kita usahakan sebisa mungkin maksimal di tiap daerah,” ujar Prilly.
Duta FFI lainnya, Reza Rahadian, diketahui sedang membawa film Indonesia ke Busan International Film Festival, menunjukkan bahwa sinema Indonesia kini semakin bersuara di panggung global.
Kehadiran FFI di Kalimantan Tengah bukan hanya menjadi ajang apresiasi, tetapi juga membuka ruang dialog antara pusat dan daerah dalam pengembangan sinema nasional. “Siapa bilang film besar harus lahir dari Jakarta? Justru film-film daerah yang punya akar budaya kuat bisa jadi kejutan di masa depan,” tutup Prilly.
Sheila mengangguk setuju, “Semoga ini bukan kunjungan pertama dan terakhir. Kami ingin kembali lagi, tapi kali ini untuk nonton film karya sineas Kalimantan di bioskop besar,” pungkasnya. (ifa/)