Utama

Kapolsek MH Bisa Dibawa ke Sidang Adat dan Propam

127
×

Kapolsek MH Bisa Dibawa ke Sidang Adat dan Propam

Sebarkan artikel ini
Ranyan

SAMPIT – Polemik sengketa lahan antara Hartani dan PT Tapian Nadenggan kian melebar. Setelah menuai sorotan publik dan mendapat reaksi keras dari Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), kini giliran Kuasa Hukum Adat, Ranyan, yang angkat bicara.

Ia menegaskan akan menggugat Kapolsek Mentaya Hulu (MH) Ipda Nor Ikhsan melalui jalur hukum adat atas sikap arogansinya terhadap masyarakat dan advokat.

Menurut Ranyan, sikap kapolsek dalam video yang beredar di media sosial tidak mencerminkan seorang aparat penegak hukum yang seharusnya mengayomi masyarakat. “Di dalam video itu terlihat jelas kapolsek bersikap arogan, berteriak, dan bernada kasar. Apakah layak seorang aparat pengayom masyarakat berkata seperti itu? Seolah-olah beliau bukan bagian dari institusi kepolisian,” tegas Ranyan, Rabu (10/9/2025).

Dia menilai tindakan kapolsek bukan hanya melukai hati masyarakat, tapi juga diduga melanggar ketentuan hukum adat Dayak. Oleh sebab itu, pihaknya siap membawa kasus ini ke sidang adat.

“Saya akan melakukan gugatan hukum adat terhadap kapolsek. Biarlah nanti kawan-kawan di kelembagaan hukum adat yang menilai, menimbang, dan memutuskan sanksi apa saja yang pantas diterapkan,” ujarnya.

Selain melalui jalur adat, Ranyan juga memastikan akan melayangkan laporan resmi atas dugaan pelanggaran kode etik ke kepolisian. Laporan tersebut rencananya akan disampaikan ke Paminal Bidang Propam, Irwasda hingga Kapolda Kalteng.

“Saya ingin hak masyarakat hukum adat dijaga, dihormati, dan disanjungi oleh pihak pendatang yang bermukim di Pulau Kalimantan Tengah. Ini bukan semata soal sengketa lahan, tetapi tentang martabat masyarakat adat,” tegasnya.

Ranyan berharap langkah hukum yang diambilnya dapat menjadi pelajaran agar aparat lebih bijaksana dalam bertugas, sekaligus memastikan hak-hak masyarakat hukum adat tetap dihormati.

Sebelumnya, salah satu kuasa hukum Hartani dari ACC Law Firm, Ida Rosiana Elisya menjelaskan, konflik tanah antara Hartani dan PT Tapian Nadenggan telah berlangsung sejak 2006. Pada 2009, rapat di tingkat kecamatan bahkan mengakui kepemilikan Hartani atas 179 hektare lahan. 

Namun tawaran ganti rugi dari perusahaan hanya Rp15 juta, angka yang dinilai tidak wajar. Somasi pun sudah tiga kali dilayangkan sejak November 2024, tapi tidak ada tindak lanjutnya.

Aksi penutupan lahan akhirnya digelar bersama pihak Hartani. Namun bukannya mendapat kejelasan dari manajemen, justru anggota kepolisian yang muncul di lokasi dengan arogan dan menyita mandau milik masyarakat.

“Ironisnya, ada pihak perusahaan yang membawa senjata tajam tapi tidak diproses. Sementara kami justru ditekan. Padahal senjata kami bawa mandau itu tidak pernah digunakan. Barang itu juga disimpan di tanah milik masyarakat, bukan di tanah milik perusahaan,” ungkap Ida belum lama ini.

Pihak kuasa hukum menegaskan akan terus memperjuangkan hak Hartani. Mereka minta kepolisian bersikap netral dan tidak terkesan melindungi perusahaan. “Ini soal keadilan di tanah sendiri. Negara harus hadir untuk rakyat, bukan justru membela korporasi,” pungkasnya. 

Sementara itu, informasi yang dihimpun, Kapolsek Mentaya Hulu mengkonfirmasi bawah tindakan tersebut berdasarkan Surat Edaran (SE) Bupati Kotim Nomor 100/150/SE-DPRD/VIII/2024 tertanggal 1 Agustus 2024 yang melarang penggunaan hinting pali dalam proses pelaksanaan keputusan dan penyelesaian sengketa adat, karena dianggap sebagai ritual keagamaan Hindu Kaharingan dan bukan alat penanda sengketa lahan.

SE ini juga memerintahkan damang untuk tidak memerintahkan pemasangan hinting pali secara langsung, tetapi harus melalui koordinasi dengan Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingin (MDAHK) Kabupaten Kotim atau Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MB-AHK) Pusat Palangka Raya. (pri/rdo/ens)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *