Feature

Tradisi Tolak Bala yang Terus Hidup di Hati Warga Sampit

293
×

Tradisi Tolak Bala yang Terus Hidup di Hati Warga Sampit

Sebarkan artikel ini
MANDI SAFAR: Suasana mandi safar di Kecamatan Baamang, Kabupaten Kotim, pada Rabu (20/8/2025) sore.FOTO: APRI

Melihat Ritual Mandi Safar di Sungai Mentaya

Senja mulai turun di tepian Sungai Mentaya, Rabu (20/8/2025). Cahaya keemasan yang memantul di permukaan sungai berpadu dengan riak air yang berisik oleh teriakan anak-anak, lantunan doa, dan percikan yang berhamburan. Bukan sekadar mandi bersama, ratusan warga dari berbagai penjuru Sampit berkumpul untuk melakoni sebuah ritual yang diwariskan turun-temurun. Yaitu Mandi Safar.

APRI, Sampit

SETIAP Rabu terakhir di bulan Safar, warga pesisir Mentaya percaya ada waktu yang penuh makna. Mereka menyebutnya Arba Musta’mir, sebuah hari yang diyakini membawa berkah sekaligus momentum membersihkan diri dari hal-hal buruk.

Di kawasan Jalan Baamang Tengah I, suasana semarak. Anak-anak menyelam dengan tawa riang, orang dewasa membasuh wajah penuh khusyuk, sementara para tetua mengamati dengan tatapan dalam. Bagi mereka, Mandi Safar bukanlah sekadar aktivitas membasuh tubuh, melainkan doa keselamatan dan simbol penyucian jiwa.

“Tradisi Mandi Safar diyakini sebagai sarana membersihkan lahir dan batin,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kotim, Bima Eka Wardhana.

Dalam keyakinan masyarakat pesisir, air Sungai Mentaya pada hari itu memiliki kekuatan khusus. Percikan air diyakini mampu menjauhkan manusia dari dengki, iri hati, fitnah, dan kesialan yang bisa menimpa kapan saja.

“Dengan Mandi Safar, masyarakat percaya tubuh dan jiwa disucikan dari sifat jahat, sekaligus menolak bala,” imbuh Bima.

Salah satu unsur penting dalam ritual ini adalah daun sawang. Daun yang dikalungkan di leher atau diikat di pinggang peserta itu bukan sekadar hiasan. Sebelum digunakan, daun sawang dirajah oleh alim ulama atau sesepuh adat. Ia diyakini menjadi tameng perlindungan dari gangguan makhluk halus hingga ancaman binatang liar.

“Peserta Mandi Safar diwajibkan membawa daun sawang yang sudah dirajah. Itu simbol perlindungan bagi mereka,” jelasnya.

Meski telah menjadi bagian dari identitas masyarakat Sampit, perjalanan Mandi Safar tak selalu mulus. Beberapa tahun terakhir, ritual ini jarang digelar secara besar-besaran. Faktor keamanan menjadi pertimbangan utama.

“Terakhir kali kegiatan resmi difasilitasi pemerintah daerah pada 2019. Tahun ini muncul lagi di Kota Besi atas inisiatif masyarakat,” tutur Bima.

Namun, sekalipun sempat vakum, semangat masyarakat menjaga warisan ini tak pernah benar-benar padam. Dari mulut ke mulut, dari orang tua ke anak, nilai-nilai Mandi Safar tetap diajarkan dan dipraktikkan.

Bagi masyarakat Sampit, Mandi Safar lebih dari sekadar ritual. Ia adalah cermin kebersamaan, pengikat solidaritas, sekaligus media spiritual untuk mengingatkan diri pada kuasa Tuhan.

Di tepian Sungai Mentaya, setiap cipratan air adalah doa yang terucap tanpa kata. Sebuah harapan agar hari-hari mendatang terbebas dari bala, hati tetap bersih dari iri dengki, dan kehidupan masyarakat senantiasa berada dalam lindungan.

Mandi Safar mungkin tampak sederhana. Namun dibalik kesederhanaannya, tersimpan kekayaan kearifan lokal yang menjadikan tradisi ini tetap hidup di hati masyarakat Sampit hingga hari ini. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *