Isen MulangKalimantan Tengah

Sejuta Hektare Lahan di Kalteng Masih Tumpang Tindih

36
×

Sejuta Hektare Lahan di Kalteng Masih Tumpang Tindih

Sebarkan artikel ini
WAWANCARA: Kadishut Provinsi Kalteng, Agustan Saining saat diwawancarai awak media, Kamis (4/12/2025). Foto: IFA/Raka

PALANGKA RAYA – Polemik tata ruang di Kalimantan Tengah (Kalteng) belum menemukan titik akhir. Alih-alih terselesaikan, proses sinkronisasi antara penetapan kawasan hutan oleh pemerintah pusat dengan rencana tata ruang daerah justru mandek selama lebih dari satu dekade. 

Akibatnya, hampir 1 juta hektare lahan kini berstatus “keterlanjuran penggunaan,” terutama yang telah berubah menjadi kebun sawit dan sebagian kecil area pertambangan.

Kepala Dinas Kehutanan Kalteng, Agustan Saining, menjelaskan bahwa perbedaan persepsi mengenai status kawasan hutan inilah yang menjadi akar masalah. 

“Versi daerah, kawasan itu bukan hutan. Tetapi versi pusat, kawasan itu merupakan kawasan hutan. Perbedaan itu harusnya disinkronkan melalui PP 60 tahun 2012 dan PP 104 tahun 2015,” ujarnya, Kamis (4/12/25).

Namun dua regulasi tersebut tidak berjalan optimal. Perubahan pemerintahan dan pergantian kebijakan di tingkat pusat membuat proses penataan ruang tersendat hingga kini. 

“Kebijakan berubah terus. Padahal kalau itu konsisten, mungkin bisa meminimalisir tumpang tindih yang terjadi sekarang,” tambahnya.

Ia menyebut sekitar 1 juta hektare lahan di Kalteng kini dikategorikan sebagai keterlanjuran penggunaan kawasan hutan. Dari jumlah itu, sebagian besar adalah perkebunan sawit, sedangkan area pertambangan relatif lebih kecil.

“Kebun sawit yang mendominasi. Tambang tidak terlalu banyak karena mereka punya mekanisme pinjam pakai kawasan hutan,” jelasnya.

Sebaran lahan tumpang tindih ini merata di seluruh kabupaten/kota, meski wilayah Barat dan wilayah Tengah menjadi daerah dengan luasan paling besar. Sementara wilayah Barito juga memiliki kasus serupa, meski skalanya lebih kecil.

Sebagai bagian dari penataan ulang, Satgas Penataan Kawasan Hutan (PKH) telah melakukan pematokan di lapangan terhadap sekitar 500 ribu hektare lahan yang terindikasi berada di dalam kawasan hutan. Namun proses ini belum final.

“Ke depan masih akan diverifikasi ulang oleh Kementerian Kehutanan. Jadi angka itu belum menjadi penetapan final,” katanya.

Mandeknya penyelesaian tata ruang ini membuat pemerintah provinsi kesulitan mengambil langkah tegas. Banyak perusahaan baik perkebunan maupun pertambangan yang beroperasi di atas lahan yang secara pusat dikategorikan sebagai kawasan hutan, namun secara daerah dianggap sebagai APL (Areal Penggunaan Lain).

“Situasi ini tidak fair bagi daerah dan dunia usaha. Kita butuh kejelasan aturan. Kalau sinkronisasi tata ruang benar-benar selesai, semua pihak punya kepastian hukum,” pungkasnya.

Hingga kini, pemerintah provinsi masih menunggu kebijakan baru dari pusat yang dapat memberikan kejelasan dan penyelesaian status kawasan. Sementara itu, aktivitas ekonomi terlanjur berjalan di atas lahan yang belum memiliki kepastian hukum. (ifa/ab)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *