Kehilangan Hutan Jutaan Hektare Secara Nasional
PALANGKA RAYA – Catatan kehilangan hutan di Kalimantan Tengah (kalteng) mencapai jutaan hektare dan menempatkannya di peringkat tiga nasional.
Namun di balik angka besar itu, pemerintah daerah menyatakan situasi lapangan jauh lebih positif dari yang tergambar dalam data.
Bumi Tambun Bungai–julukan Kalteng, kehilangan tutupan pohon terbesar ketiga di Indonesia sepanjang 2001–2024. Yakni sekitar 3,9 juta hektare. Hal itu menurut data GoodStats.
Catatan itu menempatkan Kalteng di bawah Riau dan Kalimantan Barat dalam daftar provinsi dengan kerusakan tutupan hutan terbesar.
Namun di tengah sorotan tersebut, Pemerintah Provinsi Kalteng justru menyampaikan bahwa kondisi hutan di wilayah ini masih tergolong baik dan terus menunjukkan perbaikan.
Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Kalteng Agustan Saining mengatakan, terdapat sejumlah langkah dan evaluasi kebijakan yang membuat pengelolaan hutan saat ini lebih terkontrol.
Ia menegaskan, Pemprov Kalteng belajar dari bencana besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan, sehingga pengawasannya diperketat.
“Alhamdulillah, di Kalteng kegiatan PBPH sudah dilaksanakan sesuai prosedur. Ada program tebang pilih tanam Indonesia yang dijalankan perusahaan seperti PT Korintiga Hutani dan PT Industrial Forest Plantation,” ujarnya, Rabu (3/12/2025).
Agustan mengklaim, praktik illegal logging mengalami penurunan signifikan. Hal ini didorong peningkatan pengawasan, termasuk sidak gubernur terhadap angkutan kayu. “Kalau dulu kita berbicara 100 persen, sekarang sudah kurang dari 20 persen. Bahkan mungkin lebih kecil lagi,” jelasnya.
Meski begitu, Agustan mengakui, masih ada kasus kecil yang lolos dari pengawasan. Ia menyebut istilah illegal logging sering mengalami distorsi. Kini lebih sering terkait kelebihan volume oleh perusahaan berizin, bukan aktivitas pembalakan liar oleh masyarakat seperti di masa lalu.
Laporan dugaan illegal logging pun kerap terbukti berasal dari sumber kayu legal, namun Dinas Kehutanan tetap menindak tegas angkutan yang tidak lengkap dokumennya. Sejumlah truk kayu ilegal juga telah disita. Aktivitas terkait kayu paling sering ditemukan di Palangka Raya, Katingan, dan Gunung Mas. Termasuk rute distribusi menuju Banjarmasin.
Terkait luas tutupan hutan, Agustan mengakui adanya perbedaan angka antara pemerintah pusat, daerah, dan lembaga survei independen. Namun secara umum, ia menegaskan tutupan hutan Kalteng masih cukup kuat.
“Kurang lebih 3 juta hektare masih berupa hutan primer, 4 juta hektare hutan sekunder, dan sisanya hutan bekas tebangan yang kini jadi fokus rehabilitasi,” bebernya.
Ia menambahkan, keberadaan Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Tanjung Puting menjadi benteng utama ekosistem gambut dan keanekaragaman hayati. Dua kawasan itu, menurutnya, masih sangat terlihat hijau jika diamati dari udara.
“Saat memasuki Kalimantan dari arah Jakarta, hamparan hijau Tanjung Puting dan Sebangau masih sangat jelas terlihat,” katanya.
Agustan menegaskan, pemprov terus memperkuat pengawasan terhadap perusahaan pemegang izin PBPH. Setiap temuan ketidaksesuaian prosedur akan langsung ditindak. “Clear saja sebenarnya di kita. Yang tidak sesuai prosedur akan kita tahan,” tegasnya.
Ia optimistis, melalui pengawasan ketat, rehabilitasi, serta perbaikan tata kelola, tutupan hutan Kalteng dapat dipertahankan, bahkan ditingkatkan meski data nasional menempatkan provinsi ini pada peringkat tinggi kehilangan tutupan pohon.
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah sebelumnya melaporkan 12 perusahaan ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Perusahaan tersebut diduga melakukan kejahatan lingkungan yang turut memperparah kerusakan alam di Kalteng.
Pelaporan tersebut disampaikan melalui audiensi ke Direktorat Penegakan Hukum (Gakkum) KLH dan Kemenhut pada 22 Mei 2025.
Sebanyak 12 perusahaan yang dilaporkan terdiri dari 5 perusahaan perkebunan sawit, 5 perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), serta 2 perusahaan tambang batu bara.
Adapun dugaan pelanggaran lingkungan yaitu berupa temuan aktivitas di kawasan hutan, kawasan hidrologis gambut, karhutla berulang di areal konsesi perusahaan, dan dugaan pencemaran lingkungan. Kemudian pelanggaran tata kelola yakni berupa maladministrasi dan proses perizinan yang tidak sesuai perundang-undangan.
Selain itu, ada dugaan pelanggaran dari segi sosial ekonomi masyarakat berupa sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan yang belum terselesaikan, program kemitraan yang dianggap timpang dan kurang menguntungkan masyarakat, hingga potensi kriminalisasi terhadap masyarakat. (ifa/rdo/ens)












