Anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez, menyoroti penambahan klausul pengamatan hakim sebagai alat bukti dalam Undang-Undang KUHAP yang baru disahkan. Ia menegaskan, aturan baru ini tidak boleh mereduksi asas praduga tak bersalah yang menjadi prinsip fundamental dalam hukum acara pidana.
Menurutnya, pengaturan tersebut harus berada dalam kerangka reformasi hukum yang menjamin keadilan prosedural serta akuntabilitas penegak hukum.
“Pengamatan hakim harus tetap berbasis verifikasi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak-hak terdakwa,” kata Gilang kepada wartawan, Rabu (20/11).
Legislator Fraksi PDIP itu menekankan, perluasan alat bukti akan bermanfaat terutama pada perkara yang sulit dibuktikan karena minimnya saksi maupun bukti ilmiah.
Namun, ia mengingatkan perubahan KUHAP bertujuan membangun sistem peradilan modern yang transparan, berimbang, dan berlandaskan due process of law.
“Setiap inovasi hukum harus disertai rambu etik, pedoman teknis, dan mekanisme pengawasan yang jelas,” ujarnya.
Ia khawatir tanpa pengaturan ketat, pengamatan hakim justru mendorong dominasi keyakinan subjektif yang menggeser prinsip pembuktian objektif.
“Keadilan harus tetap dapat diverifikasi, bukan sekadar diyakini,” tuturnya.
Untuk mencegah penyalahgunaan, Gilang mendorong penguatan pengawasan eksternal terhadap hakim, terutama oleh Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA). Ia juga mengusulkan adanya pelatihan atau sertifikasi bagi hakim terkait metode observasi yang sah secara hukum dan sesuai prinsip psikologi hukum.
“Dengan begitu, inovasi dalam revisi KUHAP tetap berpijak pada keadilan, perlindungan HAM, dan integritas peradilan,” tegasnya.
SUMBER : JAWA.POS












