Feature

Dari Tambang Emas Ilegal ke Ketahanan Pangan

785
×

Dari Tambang Emas Ilegal ke Ketahanan Pangan

Sebarkan artikel ini
PANEN SAYUR: Guru dan siswa SMAN 1 Katingan Hulu panen hasil kebun di sekolah sebagai program ketahanan pangan sekolah, belum lama ini. FOTO HUMAS DISDIK UNTUK RADAR KALTENG

Cara SMAN 1 Katingan Hulu Mengubah Mindset Siswa

Di salah satu sudut pedalaman Pulau Kalimantan, tepatnya di Kecamatan Katingan Hulu, Kabupaten Katingan, berdiri sebuah sekolah yang menolak tunduk pada keadaan. Adalah SMAN 1 Katingan Hulu. Meski jauh dari pusat kota dan aksesnya kerap terputus saat musim hujan, justru tumbuh sebagai mercusuar harapan di tengah gelombang krisis nilai dan sosial.

SITI NUR MARIFA, Palangka Raya

DENGAN hanya 19 guru mengampu 347 murid, dan keterbatasan sarana belajar yang nyaris serba darurat, sekolah ini melawan arus budaya instan yang lahir dari aktivitas penambangan emas ilegal.

Di desa-desa sekitar sekolah, aktivitas mendulang emas bukan hal baru. Cepat menghasilkan, tanpa perlu ijazah, dan dianggap ‘lebih pasti’ dibandingkan mimpi tentang sekolah tinggi. Anak-anak tumbuh melihat emas sebagai jawaban dari semua persoalan.

Namun Dina Fahdiani, kepala SMAN 1 Katingan Hulu, punya pandangan berbeda. “Anak-anak kami pintar, tapi jika terus-menerus melihat emas sebagai satu-satunya jalan hidup, maka pendidikan akan kehilangan maknanya. Kami ingin mereka belajar dari tanahnya sendiri menanam, merawat, dan memanen. Dari situ muncul nilai sabar, kerja keras, dan kemandirian,” ujarnya, belum lama ini.

Dari keprihatinan itu, lahirlah program ketahanan pangan sekolah. Itu merupakan sebuah gerakan berbasis pembelajaran mendalam yang memanfaatkan lahan sekolah sebagai kebun hidup.

Di tanah yang dulunya kosong, kini tumbuh deretan kangkung, bayam, dan sawi. Para siswa membangun sistem hidroponik sederhana, membuat pupuk kompos dari dedaunan, dan belajar mengenali musim lewat cuaca.

Program ini bukan sekadar soal menanam. Ini tentang membangun karakter. Para siswa diajak mengaitkan kegiatan berkebun dengan berbagai mata pelajaran. Mulai dari menghitung hasil panen di pelajaran matematika, memahami fotosintesis di biologi, hingga mendokumentasikan prosesnya dalam tulisan di kelas bahasa Indonesia. Kegiatan di kebun menjadi laboratorium hidup yang mengajarkan mereka berpikir kritis, berkolaborasi, dan menyampaikan gagasan.

Salah satu siswa kelas XI, Rahmat, mengaku awalnya tidak tertarik. “Dulu saya pikir kerja kebun itu capek dan nggak keren. Tapi setelah tahu hasilnya bisa dimakan dan dijual, saya jadi semangat. Apalagi pas foto kegiatan kami viral di Instagram sekolah, kami bangga banget,” katanya sambil memamerkan tanaman kangkungnya.

Di daerah yang dikelilingi aktivitas tambang emas ilegal, upaya sekolah ini bukan tanpa tantangan. “Ada yang bilang, ‘buat apa belajar nanam, tinggal ke sungai aja bisa dapat duit’. Tapi kami tidak marah, justru kami ajak dialog. Kami ajak mereka lihat prosesnya,” kata Dina.

Menurut dia, budaya instan tidak bisa diubah dengan ceramah saja. Tapi dengan pengalaman nyata. Lewat kebun, siswa belajar bahwa hasil baik butuh proses. Panen pertama menjadi titik balik. Siswa yang dulu apatis kini menunjukkan rasa memiliki. Mereka bersorak saat sayuran mereka dibeli oleh guru atau warga. “Rasanya lebih bangga dari nilai 100,” ungkap Dina.

Tak hanya siswa dan guru, program ini juga menggandeng orang tua, penyuluh pertanian, dan alumni. Guru membentuk komunitas belajar dua mingguan untuk saling berbagi metode, sekaligus belajar dari praktisi lokal.

Sebagian hasil panen digunakan untuk konsumsi di sekolah, sebagian lagi dijual terbatas. Dana yang terkumpul dikembalikan ke kegiatan pertanian. Ke depan, sekolah tengah merancang pengembangan produk turunan seperti keripik bayam atau pupuk organik kemasan.

Lebih dari 75 persen siswa menunjukkan perkembangan positif dalam aspek karakter dan soft skills. Mereka lebih aktif berdiskusi, lebih terlibat dalam kerja tim, dan berani menyampaikan ide di depan umum.

SMAN 1 Katingan Hulu bukan hanya mengajarkan ilmu, tapi juga menanamkan masa depan, bukan dari pasir sungai yang menyimpan emas, tetapi dari tanah yang memberi kehidupan jangka panjang.

Di tengah bayang-bayang tambang, sekolah ini memilih menanam. Dan dari sayur yang tumbuh, mereka memanen lebih dari sekadar hasil kebun, mereka memanen kesadaran, karakter, dan masa depan yang lebih lestari. (ifa/ens)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *