Isen MulangKalimantan Tengah

Pemprov Dilema Arah Kebijakan Pembangunan

88
×

Pemprov Dilema Arah Kebijakan Pembangunan

Sebarkan artikel ini
RAKOR: Plt Sekda Kalteng, Leonard S Ampung foto bersama pada acara Rapat Koordinasi Percepatan Pertumbuhan Ekonomi lingkup Provinsi Kalteng, Selasa (14/10/2025). Foto: IFA/Raka

PALANGKA RAYA – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah (Kalteng), menghadapi dilema dalam arah kebijakan pembangunannya. 

Di satu sisi, Kalteng dipercaya sebagai Lumbung Pangan Nasional, namun di sisi lain, provinsi ini juga dimandatkan sebagai Pusat Konservasi Internasional. Dua peran strategis ini dinilai tidak selalu sejalan dan berpotensi menimbulkan trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.

Dalam sambutan pada Rapat Koordinasi Percepatan Pertumbuhan Ekonomi lingkup Provinsi Kalteng, Sekretaris Daerah (Sekda) Leonard S. Ampung secara lugas menyampaikan kegelisahan pemprov terhadap beban ganda tersebut.

“Potensi terjadinya trade-off dari aktivitas ekonomi ekstraktif dengan aspek lingkungan dalam konteks pembangunan di Kalteng mungkinkah kita hindari?,” tanya Leonard di hadapan peserta rapat, Selasa (14/10/2025).

Sebagai Lumbung Pangan Nasional, Kalteng telah ditetapkan sebagai Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) oleh pemerintah pusat, dengan program cetak sawah sebagai instrumen utama. Namun, pelaksanaan program ini membutuhkan pembukaan lahan skala besar sebagian diantaranya adalah kawasan hutan.

Leonard menyebut, bahwa revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang menjadi dasar hukum pelepasan kawasan hutan hingga kini belum disetujui oleh pemerintah pusat.

“Konsekuensi logis program cetak sawah adalah membabat area yang semula ditutupi vegetasi hutan menjadi lahan terbuka. Tapi revisi RTRW tak kunjung disetujui. Ini membuat daerah serba salah,” tegasnya.

Sementara itu, sebagai Pusat Konservasi Internasional, Kalteng juga dibebani target-target dari pusat dan global, seperti FOLU Net Sink 2030, Net Zero Emission 2060, 

Indeks Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup dan Keanekaragaman Hayati.

Target-target ini, tentu memerlukan pembatasan aktivitas industri ekstraktif serta menjaga tutupan hutan yang saat ini masih cukup luas di Kalteng.

Leonard mengajak seluruh pihak untuk realistis dan jujur melihat situasi, apakah betul dua mandat tersebut bisa berjalan berdampingan? Atau justru saling meniadakan?. 

“Bagaimana mewujudkan Kalteng sebagai Lumbung Pangan sekaligus sebagai Pusat Konservasi Internasional dapat berjalan beriringan tanpa terjadi trade-off?” ujarnya menggugah.

Ia menambahkan, tanpa kebijakan yang sinkron, Kalteng bisa terjebak dalam kondisi serba tanggung, pertumbuhan ekonomi tak maksimal, tapi lingkungan pun tetap terancam.

Leonard juga menyinggung soal rendahnya minat generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian termasuk dalam program cetak sawah. Selain faktor produktivitas, Ia menyebut, kebijakan harga pangan yang tidak berpihak pada petani sebagai alasan utama.

“Politik beras murah tidak menyejahterakan petani. Banyak lahan ditinggal, petani menuai dan alih fungsi lahan terus terjadi,” jelasnya.

Di sisi lain, meskipun konservasi penting untuk jangka panjang, Ia mengakui pasar dan investasi belum cukup tertarik pada proyek-proyek berorientasi lingkungan jika tidak disertai insentif konkret. (ifa/abe) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *