Kisah Kapten Ode Melawan Maut di Laut Lepas (1)
Angin laut berhembus kencang, ombak menggulung tanpa ampun, dan langit malam tampak pekat tanpa bintang. Di tengah gelapnya samudera itu, seorang pria berusia 61 tahun berjuang mempertahankan hidup. Namanya Ode, Kapten Tugboat Datine 138, kapal yang tenggelam di laut lepas dengan jarak tiga mil dari bibir Pantai Ujung Pandaran, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).
SINDY APRINASYAH, Sampit
SELAMA tujuh jam, Kapten Ode terombang-ambing di laut lepas. Tanpa arah. Hanya berpegangan pada liferaft. Yakni alat penyelamat darurat yang hanyut dekat kapal. Tak terlihat daratan di pelupuk mata. Tak ada suara manusia. Hanya bunyi ombak yang terus menghantam tubuhnya dan angin laut di tengah malam.
”Yang namanya musibah, kita tidak bisa mengelak. Semua sudah takdir Allah,” ucap Ode saat ditemui, Jumat (10/10/2025) sore.
Kapten asal Palembang ini merupakan satu-satunya korban selamat dari tenggelamnya Tugboat Datine 138. Tiga anak buah kapalnya masing-masing berasal dari Banjarmasin, Jawa, dan Riau, semuanya tak diketahui nasibnya setelah kapal mereka tenggelam di laut lepas.
Tragedi itu bermula pada Selasa (7/10/2025) sekitar pukul 01.00 WIB. Cuaca tampak mulai berubah ketika kapal yang dinakhodainya dari Sampit menuju Kapuas sebagai assist mengalami kebocoran hebat di lambung. Air dengan cepat masuk, membuat kapal kehilangan keseimbangan.
“Saya sempat mau arahkan kapal masuk ke Pagatan. Tapi tidak bisa lagi. Bocornya sudah kuat. Sudah tidak sempat berbuat apa-apa,” jelasnya.
Empat orang di kapal itu berusaha menyelamatkan diri. Dua ABK sempat naik sekoci, satu berpegangan pada jeriken, dan Ode hanya sempat meraih liferaft yang mengapung di sekitar kapal. “Saya kejar yang satu, tidak dapat. Kejar yang lain juga tidak dapat. Akhirnya apa yang hanyut di dekat saya, itulah yang saya pegang,” katanya.
Gelombang datang silih berganti, membuat tubuhnya semakin lemah. Dalam kegelapan malam, sesuatu tiba-tiba menyentuh kakinya dari bawah. “Ada yang nyenggol saya. Saya tidak tahu apa itu. Tapi rasanya besar. Saya cuma bilang dalam hati, kalau kalian mau makan saya, tunggu saya mati dulu,” ujarnya.
rasa takut menyelimuti hati. Laut bukan hanya dingin dan sunyi, tapi kehidupan juga tak terlihat. Namun Ode tetap bertahan, menggenggam erat liferaft yang menjadi satu-satunya penopang hidupnya di tengah ombak.
Tujuh jam berlalu dalam ketegangan. Tubuhnya mulai kram, tangannya kebas, dan matanya pedih karena air laut yang asin. Saat harapan hampir pupus, ia melihat cahaya samar di kejauhan. Sebuah kapal nelayan melintas, menuju arah kapal tugboat yang tenggelam. “Nelayan itu awalnya mau ke arah kapal saya yang tenggelam. Tapi tidak ada orang di sana. Begitu dia lihat saya, baru sadar saya masih hidup,” tuturnya.
Ode berhasil diselamatkan sekitar pukul 08.00 WIB. Tubuhnya sudah lemah. Namun kesadarannya tetap utuh. “Saya sudah tidak bisa gerakkan kaki lagi. Kram semua. Tapi waktu ditolong, saya langsung bersyukur. Allah masih kasih saya hidup,” katanya penuh haru. (bersambung)












