Kematian mendadak sering terjadi tanpa tanda peringatan dan menimbulkan duka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Sudden Death Syndrome (SDS) adalah istilah umum untuk menggambarkan kematian mendadak akibat penyebab alami. Meski terdengar menakutkan, SDS bukanlah diagnosis resmi, melainkan istilah yang mencakup berbagai kondisi medis yang menyebabkan kematian secara tiba-tiba.
SDS tidak mengacu pada penyakit tunggal, tetapi merujuk pada kematian mendadak dan tidak terduga akibat penyebab alami. Menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), SDS terjadi jika kematian berlangsung dalam satu jam setelah gejala muncul, atau dalam 24 jam sejak seseorang terakhir terlihat sehat tanpa tanda penyakit.
Banyak orang sering menyamakan SDS dengan sudden cardiac death (SCD) atau henti jantung mendadak. Padahal, melansir dari Medical News Today, SCD adalah salah satu penyebab paling umum SDS yang melibatkan berhentinya fungsi jantung secara tiba-tiba. Sekitar 73 persen kematian mendadak terkait dengan masalah kardiovaskular, jauh lebih tinggi dibandingkan penyebab lain seperti asma atau perdarahan otak.
SDS tidak memiliki gejala khusus karena penyebabnya sangat beragam. Pada kasus SCD, hampir setengah penderita tidak menunjukkan gejala apa pun sebelum meninggal. Namun, tanda yang mungkin muncul meliputi jantung berdebar (palpitasi), pusing, nyeri dada, sesak napas, dan pingsan. Gejala dari kondisi lain, seperti aneurisma otak, bisa disalahartikan sebagai keluhan ringan seperti sakit kepala hebat atau leher kaku.
Penting untuk memahami bahwa tidak semua kematian mendadak dapat diprediksi. Bahkan setelah autopsi, penyebabnya kadang tidak terdeteksi dengan jelas. Inilah yang membuat SDS menjadi tantangan besar bagi dunia medis, karena sulit memberikan peringatan atau diagnosis dini.
SUMBER : JAWA.POS