Feature

Berawal dari Cerita Nenek, Bisa Obati Gatal

448
×

Berawal dari Cerita Nenek, Bisa Obati Gatal

Sebarkan artikel ini
DAUN GELINGGANG : Elena Giselle Lantang dan Ilonka Rezky Hyzkia, dua pelajar kelas VIII SMPN 1 Sampit menunjukkan daun gelinggang yang mengantarkan mereka hingga kancah internasional. FOTO APRI/RADAR KALTENG

Warisan Obat Dayak Bawa Dua Pelajar SMPN 1 Sampit ke Ajang Internasional

Di sudut halaman sekolah, dua pelajar SMP Negeri 1 Sampit tampak sibuk menunjukkan hasil penelitian mereka. Siapa sangka, racikan sederhana dari daun liar yang tumbuh di sekitar Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur mampu mengantarkan mereka ke kancah internasional.

SINDY APRIANSYAH, Sampit

MEREKA adalah Elena Giselle Lantang dan Ilonka Rezky Hyzkia, dua pelajar kelas VIII yang baru berusia 13 tahun. Meski masih belia, keduanya sudah berhasil mengolah tanaman cassia alata L atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai daun gelinggang menjadi obat herbal berkhasiat.

“Awalnya saya dapat cerita dari tambi (nenek). Katanya dulu orang Dayak sering mencari daun gelinggang untuk mengobati gatal-gatal,” kenang Elena sambil tersenyum saat diwawancarai, Senin (22/9/2025).

Cerita sang nenek tak sekadar menjadi dongeng sebelum tidur. Bagi Elena dan Ilonka, kisah itu menjadi inspirasi lahirnya penelitian yang kini menggemparkan dunia pendidikan. Dari proses sederhana yakni menjemur, memblender, lalu menyuling, lahirlah produk herbal yang mereka beri nama gelinglen, gabungan nama mereka berdua.

Prosesnya memang terlihat sederhana. Daun gelinggang dikeringkan tiga hari hingga beraroma mirip teh matcha, lalu diblender dan diekstrak dengan etanol 96 persen. Hasil penyulingan itulah yang mereka temukan mengandung zat fitokimia seperti alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan steroid. “Zat-zat itu bisa meredakan peradangan dan gatal. Sudah kami uji dengan bahan kimia pereaksinya, hasilnya positif,” jelas Ilonka.

Produk gelinglen kini hadir dalam dua bentuk. Yaitu obat oles untuk gatal dan semprotan antiketombe. Bahkan, sudah sempat diuji coba. Luka bakar yang dialami ibu Ilonka, misalnya, sembuh hanya dalam 3–5 hari setelah pemakaian rutin.

Karya kecil itu kemudian dibawa ke Lomba Peneliti Belia (LPB) Center for Young Scientist (CYS) tingkat nasional. Tak dinyana, Elena dan Ilonka sukses mengalahkan ratusan peserta lain dari seluruh Indonesia.

Hasilnya, mereka berhak mewakili Indonesia pada kompetisi internasional di Cyberjaya, Malaysia, yang akan berlangsung 24–28 September 2025. “Semoga bisa lancar lombanya dan bisa membawa pulang juara,” harap Elena dan Ilonka.

Kepala SMPN 1 Sampit Suyoso mengaku bangga sekaligus terharu. Menurutnya, penelitian kedua pelajar ini adalah bukti bahwa kreativitas anak daerah bisa menghasilkan karya nyata.

“Memang sudah ada pelajar yang meneliti sebelumnya. Tapi baru Elena dan Ilonka yang hasilnya bisa jadi produk jadi. Harapannya, ini bukan hanya untuk lomba, tapi juga bisa bermanfaat luas bagi masyarakat,” katanya.

Dukungan juga datang dari Kepala Dinas Pendidikan Kotim Muhammad Irfansyah. Ia menyebut prestasi ini sebagai kebanggaan besar bagi daerah. “Kalau di kota besar mereka punya laboratorium lengkap. Sedangkan di sini, mencari bahan kimia sederhana saja sulit. Tapi anak-anak kita sudah membuktikan. Keterbatasan bukan halangan untuk berprestasi,” ujar Irfansyah.

Apa yang dilakukan Elena dan Ilonka sejatinya adalah menyambung kembali kearifan lokal dengan ilmu pengetahuan modern. Ramuan tradisional Suku Dayak yang diwariskan turun-temurun kini tampil dalam bentuk baru, lebih praktis, dan memiliki nilai ilmiah.

“Kecil-kecil cabe rawit”, ungkapan itu rasanya tepat untuk menggambarkan dua pelajar SMPN 1 Sampit ini. Dari tanaman liar di pekarangan, lahirlah karya yang kini siap mengharumkan nama Indonesia di dunia. (pri/ens)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *