Feature

Tetap Bertahan Lewat Inovasi Rumahan, Legalitas Jadi PR

40
×

Tetap Bertahan Lewat Inovasi Rumahan, Legalitas Jadi PR

Sebarkan artikel ini
PEDAGANG UMKM : Lusi (56), pedagang UMKM dengan inovasi jahe instan, Minggu (14/9/2025).FOTO RADAR KALTENG

Melihat Semangat UMKM di Tengah Harga Jahe yang Meroket

Di balik aroma rempah yang menenangkan dan sensasi hangat yang mengalir ke tubuh, ada kisah perjuangan seorang ibu yang menjadikan dapur rumahnya sebagai laboratorium inovasi.

SITI NUR MARIFA, Palangka Raya

Lusi (56), memilih jahe sebagai sahabat setia, tak hanya untuk kesehatan, tetapi juga untuk menambah penghasilan di tengah harga bahan baku yang terus melonjak.

“Zaman dulu, harga jahe itu cuma Rp 5 ribu per kilogram,” kenang Lusi sambil tertawa kecil. “Sekarang? Kadang bisa Rp 40 ribu, bahkan Rp 50 ribu sekilogram. Gila-gilaan naiknya,” katanya, Minggu (14/9/2025).

Kenaikan harga jahe ini tentu bukan sekadar angka. Bagi pelaku UMKM seperti Lusi, perubahan drastis ini berdampak langsung pada biaya produksi. Namun alih-alih menyerah, dia memilih bertahan dengan cara yang khas dan sederhana, mengolah jahe menjadi produk instan berkualitas tinggi dari dapur rumahnya sendiri.

Bermula dari kebiasaan mengonsumsi air jahe untuk menjaga stamina, Lusi mulai meracik resep jahe instan sendiri. Rasanya pas, dan hangatnya terasa. Yang terpenting, tanpa bahan pengawet. Dia menyebut produknya sebagai fanida jahe instan. Diambil dari nama usahanya. “Minum jahe itu bikin badan enteng. Apalagi buat orang seumuran saya. Rasanya kalau sehari nggak minum, badan kerasa ada yang kurang,” ujarnya.

Meski dimulai sebagai konsumsi pribadi, respon dari teman-teman dan tetangga membuat Lusi yakin untuk menjualnya. Dia pun mulai memproduksi dalam jumlah lebih besar dan menjualnya dalam kemasan serbuk setengah kilogram. Harga eceran dipatok Rp 70.000.

Salah satu keunggulan Lusi dibanding produsen rumahan lain adalah keberadaan mesin kristalisasi di dapurnya. Mesin ini membantu proses pembuatan jahe instan agar lebih efisien dan tahan lama, tanpa menghilangkan rasa asli dari jahenya. “Ini mesin bisa juga buat kunyit dan rempah lain. Jadi ke depan, saya bisa kembangkan produk lain juga,” katanya penuh semangat.

Dengan alat sederhana namun tepat guna, Lusi menunjukkan bahwa inovasi tak selalu membutuhkan pabrik besar. Cukup dengan kemauan belajar dan sedikit modal, usaha kecil bisa bersaing di pasar yang semakin kompetitif.

Meski sudah memiliki sertifikat halal dan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), produk Lusi belum mengantongi izin Produk Industri Rumah Tangga (PIRT). Dia mengakui, kendala bukan pada prosesnya, tapi lebih pada waktu dan energi yang terbagi. “Niatnya sih mau diurus, tapi ya gitu, suka ketunda. Padahal tinggal kirim aja,” ujarnya, mengakui bahwa legalitas menjadi PR besar bagi banyak pelaku UMKM kecil.

Modal juga menjadi tantangan besar. Karena keterbatasan dana, Lusi hanya bisa menjual dalam skala kecil, sebatas ke tetangga dan saudara. Pasar seperti Pekanbaru yang dulu pernah dia jangkau, kini terpaksa dihentikan sementara.

Bagi Lusi, usaha ini bukan sekadar bisnis. Ini tentang menjaga semangat, menjaga rasa, dan menjaga warisan jamu rumahan yang perlahan mulai dilupakan. “Dapur itu dunia saya juga dan hobi juga,” katanya.

Kini, dia berharap bisa kembali mengaktifkan rencana membentuk kelompok UMKM bersama teman-teman. Jika terwujud, mungkin skala produksinya bisa lebih besar, distribusinya lebih luas, dan legalitasnya lebih cepat dirampungkan. Jika berminat bisa hubungi WhatsApp berikut : +62 821-5207-7799 “Selama masih ada jahe dan semangat,” ujarnya sambil tersenyum. “Saya akan terus bikin,” tandasnya. (ifa/ens)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *