Utama

Investasi Raksasa di Kotim

65
×

Investasi Raksasa di Kotim

Sebarkan artikel ini
PULAU HANAUT: Nampak dari udara wilayah Kecamatan Pulau Hanaut, Kabupaten Kotawaringin Timur, yang akan menjadi lokasi smelter buksit senilai Rp 160 triliun. FOTO WARGA UNTUK RADAR KALTENG

Smelter Bauksit Rp160 Triliun Siap Dibangun di Pulau Hanaut

SAMPIT – Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) bersiap menjadi magnet baru investasi skala raksasa di sektor pengolahan mineral. Salah satu perusahaan alumina ternama memastikan rencana pembangunan smelter bauksit di Pulau Hanaut dengan nilai investasi fantastis. Yaitu mencapai Rp 160 triliun yang digelontorkan secara bertahap.

Bupati Kotim Halikinnor menyebutkan, perusahaan tersebut bukan pemain baru. Selama sembilan tahun mereka beroperasi di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, bahkan sempat melirik Kalimantan Barat sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan ke Kotim. Smelter bakal berdiri di kawasan strategis yang membentang dari Cemeti hingga Babaung, dengan luas areal sekitar 16 ribu hektare.

“Investasi tahap pertama diperkirakan Rp 50 triliun, dan bila seluruh tahapan rampung bisa menembus Rp 160 triliun. Di Morowali, investasi Rp 30 triliun saja mampu menyerap ribuan tenaga kerja. Jika terealisasi di Kotim, dampaknya luar biasa besar,” ungkap Halikinnor, Rabu (10/9/2025).

Menurut bupati, keberadaan smelter ini akan menjadi lokomotif baru penggerak perekonomian Kotim. Selain menyerap tenaga kerja lokal, aktivitas produksi dipastikan memberikan efek ganda bagi masyarakat, mulai dari penerimaan pajak, royalti, hingga tumbuhnya usaha kecil di sekitar pabrik.

“Kalau pabrik berdiri, hasil bumi dari daerah lain pun bisa masuk ke Sampit. Otomatis roda ekonomi akan lebih kencang berputar. Kita harapkan kontribusinya bukan hanya di tenaga kerja, tapi juga royalti, pajak, serta geliat usaha masyarakat sekitar,” tegasnya.

Namun Halikinnor memberi penekanan khusus bagi perusahaan yang mewajibkan mengutamakan tenaga kerja lokal, dengan pengecualian hanya pada posisi teknis tertentu yang memang membutuhkan keahlian tinggi.

Selain itu, program tanggung jawab sosial (CSR) juga harus menyentuh langsung kebutuhan masyarakat Pulau Hanaut yang masih tergolong daerah tertinggal.

“Pertama, pekerja harus diutamakan dari masyarakat lokal. Kedua, CSR harus benar-benar diarahkan untuk pembangunan daerah. Ketiga, setiap bentuk usaha yang ada di sana wajib melibatkan pengusaha maupun masyarakat pribumi lebih dulu,” ujarnya.

Jika proyek ini terealisasi sesuai rencana, Kotim tidak hanya akan tercatat sebagai lumbung bauksit, melainkan juga salah satu episentrum industri mineral terbesar di Indonesia. (pri/ens)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *