Mengenang Syekh Ghazali, Ulama Kharismatik yang Mewariskan Islam di Kota Sampit
Di sebuah gang kecil di Rambai 6, Jalan Ir H Juanda, Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), berdiri makam sederhana dengan pagar tinggi berbalut kain kuning. Di situlah Syekh Muhammad Ghazali Arsyad Al Banjari, ulama keturunan Datuk Kalampayan yang pernah menimba ilmu lebih dari satu dekade di Mekkah, Arab Saudi, bersemayam bersama istrinya.
SINDY APRIANSYAH, Sampit
SYEKH Ghazali lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada tahun 1880. Ayahnya, Syekh Mahmud, adalah bagian dari keluarga besar keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau yang akrab dikenal sebagai Datuk Kalampayan.
Sejak muda, Syekh Ghazali sudah menunjukkan kecintaan yang besar pada ilmu agama. Hingga akhirnya, Kesultanan Banjar mengirimkannya ke Mekkah untuk menimba ilmu, yang kala itu merupakan sebuah tradisi yang lazim dilakukan terhadap anak-anak muda pilihan.
Lebih dari satu dekade lamanya, ia menuntut ilmu di Tanah Suci. Ia bahkan sempat diminta menetap dan menjadi imam di sana. Namun panggilan tanah kelahiran tak bisa ia abaikan. Atas permintaan Kesultanan Banjar, ia kembali ke Nusantara untuk berdakwah.
“Beliau belajar lebih dari 10 tahun di Mekkah. Memang dulu Kesultanan Banjar rutin mengirimkan murid untuk belajar agama ke sana,” tutur cicit Syekh Ghazali, Muhammad Mulianur Arsyad, saat ditemui di kediamannya, Sabtu (6/9/2025) lalu.
Setelah menikah dengan dua perempuan, yakni Norsam dan Antung Mascape, Syekh Ghazali ditugaskan ke Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur. Di kota inilah ia mengabdikan sebagian besar hidupnya.
Sampit kala itu masih sangat sederhana. Ajaran Islam sudah masuk, tapi hanya pada tataran kulit luar. Kehadiran Syekh Ghazali membawa pembaruan. Ia mengajarkan fikih, tafsir, hingga ilmu makrifat dengan detail, membuat pemahaman masyarakat setempat tentang Islam menjadi lebih mendalam.
“Orang dulu hanya tahu dasar-dasarnya saja. Beliau yang mengajarkan sampai ke hal-hal kecil. Misalnya cara wudhu yang benar, hingga tafsir Al-Qur’an,” jelas Mulianur.
Di Sampit, Syekh Ghazali tidak sendiri. Ia berdakwah bersama sepupunya, Syekh Abdurrahman, yang sudah lebih dulu mengajar di sana. Keduanya membagi wilayah dakwah. Syekh Ghazali berfokus di Mentawa Baru Ketapang hingga Baamang. Sementara Abdurrahman mengajar sampai ke Pelangsian.
Hasil dakwah mereka pun meluas hingga ke pedalaman. Banyak masyarakat hulu yang sebelumnya belum mengenal Islam akhirnya masuk Islam melalui sentuhan dakwah mereka.
Selain dikenal alim, Syekh Ghazali juga diyakini memiliki karomah. Salah satu cerita yang paling sering dikisahkan adalah saat beliau tengah mengajar, air minum di hadapannya tiba-tiba bergetar. Tanpa berkata apa pun, beliau masuk ke kamar. Ada yang menyebut ia masuk lewat cermin.
Tak lama kemudian, beliau keluar dalam keadaan basah kuyup. Kepada muridnya yang bertanya, ia berkata baru saja menolong sebuah kapal yang pecah dihantam ombak. “Cerita itu turun-temurun diceritakan murid-muridnya. Ada yang bilang beliau masuk kamar, ada juga yang bilang lewat cermin,” kisah Mulianur.
Syekh Ghazali wafat pada tahun 1991. Ia dimakamkan berdampingan dengan istrinya. Makamnya kini menjadi salah satu tempat yang kerap diziarahi masyarakat Sampit, terutama setiap Jumat.
Kini, meski jasadnya telah lama bersemayam, jejak dakwah Syekh Muhammad Ghazali Arsyad Al Banjari masih terasa. Ajarannya diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikan Islam di Sampit tidak hanya dipahami di permukaan, tetapi mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. (pri/ens)