SAMPIT – Kisah pilu dialami empat guru honorer di SDN 6 Mentaya Seberang, Desa Ganepo, Kecamatan Seranau, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Mereka harus rela menerima gaji Rp500 ribu per bulan, sementara biaya transportasi yang dikeluarkan untuk menuju sekolah mencapai Rp450 ribu.
Perjalanan para guru ini bukanlah hal mudah. Dari tempat tinggalnya di Pulang Siang, mereka harus menempuh perjalanan dengan sepeda motor sekitar 30 menit menuju pelabuhan Polairut. Setelah itu, masih harus menyeberangi Sungai Mentaya dengan perahu kelotok selama 20 menit. Ongkos kelotok ini mencapai Rp150 ribu per bulan, belum termasuk ongkos lainnya.
Keluhan terkait minimnya gaji ini pun mendapat tanggapan dari Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kotim, Muhammad Irfansyah. Ia menjelaskan bahwa guru honorer sekolah memang berbeda dengan guru kontrak daerah.
“Kalau honorer sekolah, itu sesuai kemampuan sekolah masing-masing. Sedangkan guru kontrak daerah dulu memang ada dengan gaji Rp2,1 juta, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Jadi honorer sekolah ini bergantung pada kebijakan sekolah dan dana BOS,” jelas Irfansyah, Kamis (21/8/2025).
Irfansyah menegaskan pihaknya akan mengecek data guru honorer yang masih menerima gaji minim. Menurutnya, ada kemungkinan mereka sudah masuk dalam data penerima tunjangan sertifikasi, yang nilainya bisa mencapai Rp2,5 juta per bulan dari pemerintah pusat.
“Kalau guru sudah sertifikasi, seharusnya mendapat Rp2,5 juta dari pusat, ditambah insentif sekolah. Jadi totalnya bisa lebih dari Rp2,6 juta. Tapi kalau belum sertifikasi, kembali lagi tergantung sekolah, apakah sesuai kualifikasi S1 atau tidak,” terangnya.
Mengenai peluang diangkat menjadi tenaga kontrak atau bahkan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), Irfansyah menyebut semua itu mengikuti aturan pemerintah pusat.
“Sekarang tidak ada lagi pengangkatan guru kontrak daerah. Kalau untuk jadi P3K, semua ada mekanismenya, lewat seleksi. Jadi kami tidak bisa sembarangan mengangkat. Namun, tetap akan kami lihat apakah guru tersebut sudah masuk dalam database,” ujarnya.
Irfansyah juga menekankan bahwa pihak sekolah seharusnya melaporkan kondisi guru honorer yang hanya menerima gaji Rp500 ribu tersebut.
“Selama ini belum ada laporan resmi ke kami. Padahal kalau sudah bertahun-tahun digaji segitu, harusnya ada laporan supaya bisa kita carikan solusi,” tegasnya.
Kisah guru-guru di pelosok Seranau ini kembali membuka mata tentang beratnya perjuangan para pendidik di daerah terpencil. Meski dengan gaji minim, mereka tetap berangkat mengajar demi anak-anak didik di seberang Sungai Mentaya. (pri/rdo)