Kecurangan Seleksi Akpol, Mengancam Masa Depan Polri
PALANGKA RAYA – Kasus dugaan kecurangan seleksi Akademi Kepolisian (Akpol) Polda Kalimantan Tengah menggunakan aplikasi ilegal berbentuk flashdisk mendapat sorotan serius dari kalangan mahasiswa dan akademisi hukum.
Mereka menilai, praktik curang itu bukan sekadar pelanggaran teknis, melainkan ancaman nyata bagi masa depan Polri sebagai institusi penegak hukum.
Ketua Umum KPPM Dusmala Fardoari Reketno menegaskan, pembiaran terhadap kecurangan akan melahirkan aparat yang sejak awal sudah terbiasa dengan praktik tidak jujur. “Kalau sejak pintu masuk sudah ditempuh dengan cara curang, bagaimana masyarakat bisa percaya bahwa Polri akan berdiri di atas keadilan?” tegasnya, Rabu (20/8/2025).
Menurut Fardoari, penegakan hukum harus tegas kepada semua pihak, baik penyedia jasa kecurangan maupun peserta yang dengan sengaja menggunakan cara ilegal. Tanpa sanksi yang jelas, efek jera hilang dan citra Polri semakin runtuh di mata publik.
Kasus ini harus menjadi pelajaran berharga bagi institusi Polri untuk memperketat mekanisme seleksi sejak dini. Menurutnya, seleksi calon polisi tidak boleh hanya diukur dari kemampuan teknis, tetapi juga integritas moral.
“Polri harus segera memperbaiki sistem rekrutmen dengan larangan tegas membawa perangkat elektronik, inspeksi mendadak, dan penerapan teknologi anti-curang. Tanpa reformasi, praktik serupa bisa terulang dan merusak kepercayaan publik,” ujarnya.
Fardoari juga menilai, kecurangan ini mencerminkan kegagalan sistem sosial dalam membentuk karakter generasi muda. “Sebagai calon polisi, seharusnya mereka membawa nilai moralitas tinggi. Jika sudah memilih jalan pintas dengan membayar, maka integritas pribadi dan sistem seleksi perlu segera dievaluasi,” tambahnya.
Sementara itu, Akademisi Hukum Universitas Palangka Raya Duta Erlangga menilai, kasus ini menjadi alarm keras bagi Polri. Menurut dia, keberadaan teknologi sebagai sarana kecurangan menuntut sistem pengawasan yang lebih adaptif dan transparan.
“Kalau hal seperti ini dibiarkan, Polri berisiko merekrut aparat yang tidak berintegritas. Dampaknya bukan hanya pada citra institusi, tapi juga pada kualitas penegakan hukum di masa depan,” ujarnya.
Duta menegaskan, momentum kasus ini harus dimanfaatkan untuk memperkuat sistem seleksi, melibatkan ahli teknologi, dan membangun kolaborasi dengan lembaga pendidikan agar proses rekrutmen lebih transparan.
“Kasus ini bisa jadi titik balik, atau justru titik jatuh. Kalau Polri mampu memperbaikinya, kepercayaan publik akan terjaga. Tapi jika tidak, ke depan yang dipertaruhkan adalah kualitas aparat penegak hukum itu sendiri,” pungkasnya. (rdi/rdo/ens)