Menyusuri Sungai Mentaya, Menyimak Suara Guru yang Disebut Beban Negara
Fajar baru saja merekah di tepian Sungai Mentaya. Airnya masih berkabut, dingin menusuk kulit. Dari kejauhan, sebuah perahu kayu kecil tanpa atap mulai bergerak. Di atasnya, duduk beberapa orang dengan wajah lelah namun semangat yang tak pernah padam. Mereka bukan nelayan, bukan pula pedagang. Mereka adalah para guru SDN 6 Mentaya Seberang, Desa Ganepo, Kecamatan Seranau, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).
SETIAP Senin hingga Sabtu, rutinitas itu berulang. Dari Kota Sampit, mereka menempuh perjalanan darat sekitar 30 menit, lalu menyeberang sungai selama 20 menit dengan kelotok kecil tanpa atap. Setelah itu, mereka masih harus berjalan kaki lima menit melewati jalan tanah menuju SDN 6 Mentaya Seberang.
“Kalau panas ya kepanasan. Kalau hujan ya kehujanan. Perahunya kecil, tapi kami sudah terbiasa. Namanya juga tanggung jawab,” kata Rabiyatul Dwi Andita, salah satu guru honorer saat dikonfirmasi, Rabu (20/8/2025).
Bagi Dita, panggilan akrabnya, perjalanan ini bukan sekadar lelah fisik. Setiap langkah menuju sekolah adalah hitung-hitungan biaya yang tak pernah seimbang dengan gajinya. Untuk menyeberang perahu saja, ia harus mengeluarkan Rp150 ribu per bulan. Sementara ongkos bensin motor menuju dermaga, jika dihitung, bisa mencapai Rp300 ribu per bulan. Total hampir setengah juta rupiah hanya untuk transportasi.
Padahal, gaji honorer yang ia terima hanya sekitar Rp500 ribu per bulan. Itu pun tak selalu cair tepat waktu. Kadang harus ditalangi lebih dulu oleh kepala sekolah. “Kalau ditanya cukup atau tidak, jelas enggak. Gaji habis buat transportasi. Tapi ya tetap dijalani, karena anak-anak butuh diajar,” jelasnya.
Setiap pagi, ia berangkat pukul 06.00 WIB dari rumahnya di Kota Sampit. Tiba di sekolah sekitar pukul 07.00 WIB. Pulang pun tak bisa sembarangan. Para guru harus menunggu semua rombongan selesai mengajar karena perahu tidak mau bolak-balik menjemput. Biasanya, mereka pulang bersama sekitar pukul 13.00 WIB.
Dua tahun lalu, SDN 6 Mentaya Seberang hanya memiliki tiga guru. Kini jumlahnya bertambah menjadi sembilan, termasuk kepala sekolah. Namun dari semua itu, hanya kepala sekolah yang berstatus PNS. Selebihnya, empat orang PPPK, dan sisanya honorer seperti Dita.
Meski status masih honorer, Dita tetap memilih mengajar sambil menyelesaikan kuliah S1. Baginya, kesempatan ini adalah bentuk pengabdian sekaligus ladang pengalaman, meski kenyataan hidup kerap jauh dari layak. “Saya masuk karena memang sekolah ini kekurangan guru. Kalau kami berhenti, siapa yang akan mengajar anak-anak di sini,” akuinya.
Perjuangan guru pedalaman seperti Dita belakangan mencuat ke publik setelah video perjalanan mereka viral di media sosial. Dalam video itu, Dita tak hanya menunjukkan betapa beratnya perjuangan mereka menyeberangi sungai setiap hari, tapi juga menyampaikan rasa kecewa atas ucapan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang pernah menyebut belanja pegawai termasuk guru sebagai beban terbesar negara.
Dita dan rekan-rekannya tidak menuntut banyak. Mereka sadar bahwa status mereka bukan PNS, bahkan masih harus bersaing dalam rekrutmen PPPK. Tapi di tengah segala keterbatasan, ada harapan kecil yang mereka titipkan.
“Kalau bisa, pemerintah daerah lebih memperhatikan guru di pelosok. Setidaknya ada dukungan untuk biaya transportasi penyeberangan. Karena hampir semua guru di Seranau ini tinggal di kota. Semua ongkos kami tanggung sendiri,” pintanya.
Di tengah ironi ini, Dita tetap datang setiap hari, berdiri di depan kelas sederhana, menyalakan semangat belajar untuk sekitar 40 murid. Meski gaji kecil, meski disebut beban, ia percaya pendidikan adalah satu-satunya jalan agar anak-anak pedalaman punya masa depan.
Di sebuah desa kecil di tepian Sungai Mentaya, para guru honorer seperti Dita membuktikan satu hal: negara mungkin menghitung mereka sebagai angka dalam laporan keuangan, tapi bagi masyarakat, merekalah penjaga cahaya peradaban. (pri/ens)